Beberapa Cerita Lawas 1   LAYANG LAYANG BUNTU KETIKA KEHENINGNAN MENYENTAK KESADARAN           LAYANG LAYANG     Aku lupa kapan terakhir kali aku bermain layangan bersama teman-temanku di kampung.Layang-layang yang terbang mengangkasa dan melenggak-lenggok mengikuti belaian angin, sehingga bisa membuatku lupa diri.Suatu kenikmatan luar biasa jika berhasil mengendalikan liukan bentangan kertas pada rangka bambu itu.Setiap kali hentakanakan membuat benda itu menggeliat.Tak peduli bila akhirnya telapak tangan harus luka tergores benang gelasan.Biasanya aku baru berhenti bermain jika langgar sudah membunyikan azan Maghrib.Lalu aku dihadiahi omelan Pak Haji karena terlambat datang belajar mengaji.   Senangnya mengingat masa itu.Kini aku iri setengah mati melihat sekelompok anak di depanku yang sedang asyik bermain layangan.Ketika salah satu layangan putus akibat diadu, mereka pun lantas ramai-ramai mengejar.Aku paling suka saat seperti itu.Mengejar layangan putus sampai dapat.Jika berhasil puasnya bukan main.Di desaku dulu rintangan paling besar saat mengejar layangan putus adalah sawah becek yang membentang, atau jika masuk ke kebun milik tetangga yang dipagari, tapi itu tidak masalah buatku.Namun di sini, anak-anak itu harus berhadapan dengan kendaraan bermotor dan tiang listrik.Kalau layangan sudah tersangkut di kabel listrik yang terentang pada tiang-tiang maka menyerahlah sudah.Tak mungkin nyawa ditukar dengan sebuah layangan dari kertas tipis.Walaupun demikian, ada pulang bocah nekad yang jadi korban.Belum lagi kalau tertabrak karena tak hati-hati saat menyeberang jalan.Ah, susahnya.   Kali ini layangan yang putus itu istimewa.Ukurannya lebih besar dan memiliki ekor.Rasanya aku ingin ikut mengejar layangan yang putus itu.Aku yakin dengan mudah aku pasti mendapatkannya, tapi aku enggan karena aku tidak termasuk dalam kelompok mereka.Tentu saja aku bukan kelompok mereka.Mereka itu anak-anak, sedangkan aku bukan.Aku tersenyum saat melihat layangan putus itu akhirnya tersangkut di tiang listrik menemani beberapa layangan yang sudah bertengger di situ sebelumnya.Sudah kubayangkan.Pasti tidak ada yang berani mengambilnya.Mereka cuma menatap dengan kecewa.Dalam hati aku berani bertaruh bahwa mereka ingin sekali mengambil sepotong layangan berwarna kuning bergaris-garis merah dengan ekor warna hijau-kuning.   “Mau layangan itu?” tanyaku sambil berjalan menghampiri mereka.Mereka menatapku curiga tapi sejurus kemudian tatapan mata berubah menjadi tatapan memohon. “Memang kamu bisa ngambil?” tantang seorang anak. Sialan!Kamu?Apa dia tidak lihat kalau aku lebih dewasa dari mereka.Anak-anak sekarang memang kurang ajar. “Kalau bisa maubayar berapa?” aku balas menantang. Mereka saling berpandangan.Aku tidak tahu harga layangan sekarang berapa sebuahnya, tapi untuk layangan semewah itu harganya pasti mahal. “Kalau maubayar 10 ribu aku ambilkan layangan kuning itu, sekaligus semua layangan yang nyangkut di situ.” “Semua layangan yang nyangkut di situ?”tanya seorang anak lagi. Aku mengangguk dengan penuh percaya diri.Mereka berunding. “Tapi layangan yanglain sudah sobek.Apa gunanya?” “Siapa bilang?Itu ada yang masih bagus.Kalau tidak mau ya sudah, biar kuambil sendiri.” Akhirnya mereka menyerah dengan mudahnya.Dasar anak-anak! Lalu kuambilkan layang-layang yang tersangkut di tiang listrik.Dengan kelincahan mirip monyet aku memanjat tiang listrik perkasa itu.Bukan masalah.Dulu aku terbiasa memanjat pohon kelapa.Sesampainya di atas, kuuraikan benang yang menyangkut di sumbu-sumbu kabel dengan hati-hati.Jari-jariku sangat terampil, seperti saat memereteli sekrup spion mobil. “Ini,” kataku sambil menyerahkan setumpuk layang-layang pada mereka. Mereka menerimanya sambil menatapku dengan pandangan kagum. “Uangnya?” Dengan berat hati salah satu dari mereka mengeluarkan selembar uang sepuluhribuan dan memberikannya kepadaku. “Makasih,” ujarku sambil terus berlalu. Transaksi yang bagus.Lumayan.Hatiku terasa riang. Keesokan harinya ketika aku kembali ke tempat itu, anak-anak itu sudah tidak ada.Dengar-dengar mereka takut bertemu lagi denganku.Namun pada hari-hari berikutnya aku tetap kembali ke tempat itu menanti kedatangan mereka.Siapa tahu sewaktu-waktu merekaakan kembali.Entah berapa hari yang kuhabiskan untuk menunggu kedatangan anak-anak itu.Aku juga tidak tahu mengapa aku terdorong untuk melakukannya.Mereka mengingatkanku pada sesuatu di masa laluku. Aku datang keJakarta naik keretaapi kelas ekonomi dari sebuah stasiun kecil di Jawa Tengah. Aku sendiri lupanama desa kelahiranku.Awalnya dulu cuma mau main-main diJakarta, tapi aku lalu bertemu seorang pria bernama Gandik.Dia yang mengajakku bekerja bersama beberapa orang lainnya.Pekerjaan pertamaku mengamen.Ini mudah, karena aku senang menyanyi.Dari hasil mengamen, Gandik meminta separuh bagianku. Aku tidak keberatan karenaia juga memberikan aku tempat tinggal gratis di rumahnya yang lebih menyerupai gudang tua. Disana aku tidak sendiri. Banyak manusia yang bernasibsama sepertiku.Mereka punya orang tua tapi memilih hidup bebas.Aku juga tidak pernah memikirkan Emak, Bapak dan dua adikku.Menurutku selama ini mereka lebih sering merepotkan.Hidup bersama Gandik seperti burung lepas dari kandang, bebas merdeka.Gandik tak pernah memaksaku mandi pagi, atau masuk sekolah seperti Emak.Ia juga tak pernah memaksaku mengisi bak mandi seperti Bapak.Ia cuma berkata bahwa selama ada uang maka akan ada makanan yang tersedia.Gandik mengajariku banyak hal, kecuali mencuri atau mencopet.Ia selalu mewanti-wanti agar kami tidak melakukan hal itu.sebab jika ketahuan maka akan besar resikonya.   Setelah mahir mengamen, aku mulai diajari mengantar ‘pesanan’.Maksudnya, aku menjadi perantara bagi orang-orang yang inginbertransaksi narkoba .Pekerjaan baru memberiku hasil yang lumayan.Aku bisa beli baju dan sepatu.Tapi Gandik menyarankan agar aku tidak pamer. Penampilan mentereng hanyaakan mengundang bencana, katanya.Sesekali aku mancarikan wanita penghibur untuk bapak-bapak yang kepepet di pinggir jalan.Biasanya mereka malu untuk mencari langsung wanita incaran mereka.Maka jadilah aku yang disuruh.Lama-kelamaan aku merasa sayang jika harus terus membagi hasil yang semakin lumayan itu untuk Gandik.Sebab dia tidak lagi mencarikan pekerjaan untukku, tapi masih tetap menikmati hasilnya.Aku minta bagiannya dikurangi, tapi dia menolak mentah-mentah.Alasannya – lagi-lagi – karena aku boleh numpang di rumahnya gratis.Akhirnya kuputuskan untuk berpisah dengannya. Semulaia tidak rela.Baginya aku ini tambang emas, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk menuruti keinginanku.Maka berpisahlah kami.Ia hanya berkata bahwa ia sudah tidak lagi melindungi diriku dan aku harus menghadapi semua bahaya di jalan seorang diri.    Setelah berpisah dengan Gandik hidupku lebih leluasa.Aku bebas bekerja kapanpun aku mau dan hasil keringatku kunikmati sendiri.Sempat terpikir untuk pulang, tapi bayanganakan dimarahi Emak dan Bapak membuatku membatalkan niatku.Setiap malam aku tidur di mana pun aku mau.Aku punya beberapa teman yang mau menampungku sesekali.Kadang-kadang aku mengamen bersama mereka, atau mencuri bersama mereka.Ya, mereka yang mengajariku mencuri benda-benda kecil seperti spion mobil, pelek, atau ban serep.Pertama kali melakukannya memang takut, tapi setelah dua-tiga kali rasanya seperti kecanduan.Kemahiranku dalam bekerja ternyata langsung jadi bahan pembicaraan.Beberapa pria mendekatiku untuk mengajakku bergabung, tapi aku menolak dengan halus.Aku tidak mau berurusan dengan orang seperti Gandik lagi, yang berpura-pura melindungi tapi merongrong dari dalam. Aku lebih suka sendiri. *** Hari ini aku kembali menanti anak-anak itu, tapi mereka tidak datang lagi.Kurasa mereka bermain layangan di tempat lain. Aku mencoba pergi ke tanah lapang di sebuah perumahan kumuh tapi disana juga sepi. “Memangnya sudah tidak musim layangan lagi ya?” tanyaku pada seorang tukang rokok yang mangkal di pinggir lapangan. “Sepertinya sih tidak.Dulu aku juga menjual layang-layang, tapi lama-lama tidak laku.Jadi aku tidak menjualnya lagi.Memangnya kenapa?” “Aku ingin melihat anak-anak main layangan,” jawabku jujur. Si penjual rokok mengernyitkan dahinya, “Memangnya belum pernah lihat orang main layangan?” “Pernah, tapi dulu.Aku ingin main layangan.” “Aku masih punya layangan di rumah.Mau?” Tanpa pikir panjang aku mengangguk. Hatiku girang bukan kepalang setelah menerima layangan dari tukang rokok tersebut.dengancuma-cuma ia memberikan sebuah layangan yang terbuat dari kertas putih bergambar mata, hidung dan mulut, mirip wajah manusia.Yang paling istimewa, layangan ini juga memiliki ekor yang terbuat dari kertas warna-warni, seperti layangan milik anak-anak itu.Belum pernah aku memiliki layangan seperti ini.Indah sekali.dan saat ia melayang-layang di udara, gerakannya sangat gemulai, seperti seorang penari.Mataku terpana.Tak puas rasanya memandangi layang-layang yang bergerak menuruti kendaliku. “Hei!!!” tiba-tiba ada orang berteriak kepadaku.Suaranya menggelegar dan langsung membuat nyaliku ciut.Aku ingin berlari, tapi orang itu tak sendiri.Iamembawa teman-temannya.Dalam sekejap mereka berhasil meringkusku.Sementara si tukang rokok hanya menatapku tanpa daya.Aku hanya bisa mengikuti ke mana mereka membawaku sambil kudekap erat layang-layangku. *** Di sebuah kamar yang sempit dan gelap, aku meringkuk ketakutan.Ruangan ini tadinya bekaswc umum. Ini bukan yang pertama kalinya menimpaku, dan aku tahuapa yang sebentar lagi akan terjadi. Bukan cuma aku yang pernah merasakannya, teman-temanku yang lain juga pernah mengalaminya.Pintu terbuka, dan sesosok pria bertubuh ceking melangkah menghampiriku.Wajah pria itu tirus dan pucat.Sekilas tampak seperti orang sakit, tapi dialah yang telah membuatku ketakutan selama beberapa minggu terakhir ini. “Anak sialan,” ujarnya kepadaku, “kaupikir kau bisa lari dariku?” suaranya penuh ancaman.“Kautahu apa hukumannya kalau mau kabur?” Aku mengangguk pasrah sambil terus mendekap layang-layangku, berharap mendapat kekuatan darinya.Iamelirik ke arah layang-layangku. “Untuk apa kau main layang-layang?Memangnya kau ini siapa?Kau ini bekerja untukku, tahu?!” Aku mengangguk lagi. “Apa menurutmu dirimu hebat bisa bekerja sendiri di daerahku?Enak saja!kau ini masih anak kecil!Berani-beraninya menantangku.Apa kau belum kapok?” Aku terdiam. “Jawab!” bentaknya.Suaranya memantul pada dinding kamar sehingga telingaku sakit.Inderaku masih merekam dengan jelas perlakuannya dulu. “Ampun...” kataku lirih. “Ampun?Enak betul minta ampun.Berdiri!” Aku berdiri dengan kaki gemetar. “Buka celanamu!” “Tidak.” “Buka!” “Tidak!” “Bangsat!” Pria itu memukulku sampai aku terbentur ke dinding.Dengan kasaria merebut layang-layangku yang dengan sekuat tenaga kupertahankan.Akhirnya layang-layang itu robek dan jatuh ke lantai.Ia kemudian mendorong badanku hingga bersujud ke lantai yang kotor. Air mataku menetes saatia berhasil melampiaskan birahinya kepadaku.Rasa sakit yang bertubi-tubi datang menyerang.Aku menangis. “Diam!Anak laki-laki tidak boleh cengeng!” cercanya. Maka kutahan tangisku hingga dadaku serasa mau pecah.Kupandangi layang-layangku yang tergeletak dengan wujud tak keruan di lantai, lemah, tak berdaya seperti aku.    21 Juni 2004           BUNTU     Apaya? Aku garuk-garuk kepala lagi untuk kesekian kali.Kutatap langit-langit.Tidak ada apa-apa disana .Kupelototi permukaan karpet.Kosong.Ke bawah meja.Sama.Ke tembok.Apalagi.Apa ya? Cobaapa yang mesti kutulis? Buntu! “Mom!I want milk!” suara anak sulungku membuyarkan lamunanku. Aku beringsut ke dapur.Sepanjang jalan menuju ke dapur, pikiranku penuh dengan seribu pertanyaan…apaya, apa dong, apa ya?Kucoba mencari jawaban di segala benda yang kulalui, memandangnya satu persatu.Mulai dari mainan yang berserakan hingga telpon dan dishwasher.Semua bisu. Bahkan pintu lemari es pun tak sanggup menjawab pertanyaanku. Saat membuka lemari es pun pikiranku masih sibuk melayang mencari jawaban, menerobos di sela-sela botol selai, containersusu , butter, telur, juice…. “Mom!That’s juice, not milk! I want milk!”.Oh…aku salah mengambil container. Kutaruh gelassusu di depan meja anakku. Dia masih sibuk dengan corat-coret.Kertas bertebaran di kakinya.Dia masih ngotot ingin menggambar mesin aneh seperti yang dilihatnya dalam film kartun. “Ngotot banget”, batinku. Atau justru karena dia tidak kenal menyerah?Mestinya aku seperti dia. Kudengar ceklik-ceklik suara keyboard di ruang komputer. “Adiiikkkkk….Noooooo!”.Aku menghambur ke arah suara itu. Kulihat si Adik meringisdi depan komputer. Oh my God…halaman yang tadi kutinggalkan telah berubah menjadi tulisan berbahasa planet.Si kecil menambahkan berbagai huruf diantara kalimat-kalimat itu, dan aku lupa menyimpan versi sebelumnya.Aku terduduk di karpet. Mau nangis rasanya!Tapi malu. Mau ngamuk saja! Ah percuma, si Adik baru berusia dua tahun, dia pasti tidak mengerti arti perbuatannya. Ternyata menulis tak semudah bayanganku sebelumnya.Menjadi penulis, itu kayalanku sejak dulu.Oleh sebab itu aku rajin ikut pelatihan menulis, meskipun sampai detik ini hasilnya nol besar! “Nul puthul” kata orang Jawa, sudah nol, puthul*) pula. Aku tetap saja tidak bisa menulis.Setiap kali kucoba duduk di depan komputer, maka yang terjadi selalu sepertiini : buntu! Aku tidak tahu ceritaapa yang mesti ditulis, pun tidak tahu tokoh apa yang mesti dimainkan. Teringat olehku nasihat seorang penulis kenamaan, Fahri Aziza, yang mengatakan bahwa pemilihan tokoh dalam setiap ceritaadalah : BEBAS, SEBEBAS-BEBASNYA SEPERTI BURUNG TERBANG DI LANGIT”.Justru itu yang menjadi masalahku. Pikiranku, ceritaku,tokohku, semuanya terbang lepas seperti burung di langit. Dan benar-benar lepas…pas…pas…bablas!Tak berbekas. Uhh…!Oke, aku menyerah.Tidak, bukan menyerah untuk menjadi penulis.Aku menyerah dengan tema yang sedang kugarap sekarang.Terlalu pelik.Tidak hidup, tidak berjiwa, tidak bernuansa, tidak berirama, tidak menghanyutkan. Sebuah tulisan haruslah indah dan sanggup membawa pembacanya ke alam yang dimaui penulisnya.Lantas ganti temaapa ?Tema anak remaja?Aku terlalu tua untuk bisa mengerti selera remaja sekarang.Tema fiksi ilmiah?Aku tahu bagian yang ilmiah, tapi yang fiksi?Boro-boro.Tema humor? Anakku saja sering protes,”That’s not funny, Mom…”.Ya, aku tak berbakat melawak.Bisa-bisa ditimpuk oleh pembaca.Tema horror?Horror?Cerita horror tidak ditulis oleh seorang yang takut ke kamar mandi di malam hari.Lagi pula, aku tidak mau dihantui oleh tokoh yang kuciptakan sendiri.Jadi…apadong?Buntu. “Mom, I need a bandage, right here…,” lagi-lagi anak sulungku membuyarkan lamunanku. Aku beringsut ke lemari obat, sambil berharap tidak cuma plester yang kutemukan di lemari kecil itu.Siapa tahu seonggok ide cerita menanti disana . Kecele!Tentu saja.Mana ada ide cerita di lemari obat.Di rumahku pula.Terbayang olehku rumah para penulis.Pasti ide tulisan ada di mana–mana, tinggal ambil.Di meja makan, di ruang tamu, di garasi, di halaman, di rumah tetangga. Rumah tetangga! Aku melihat keluar dari balik cendela.Diam-diam kuperhatikan tetanggaku.Tetangga depan itu mungkin menarik untuk dijadikan bahan tulisan.Suaminya orang kulit hitam, istrinya orang Cina.Pasangan yang langka, bisa menjadi tokoh tulisan yang menarik.Anak-anaknya pun lucu.Adayang berkulit hitam dan bermata sipit.Adayang berkulit kuning dengan rambut keriting.Hatiku berbunga-bunga, akhirnya kutemukan bahan tulisan yang kucari-cari.Tapi, hei…bagaimana kalau suatu saat diantara anak mereka ada yang menikah dengan orangIndonesia, kemudian mereka membaca tulisanku, dan menyadari bahwa mereka dijadikan bahan cerita tanpa ijin terlebih dahulu?Bagaimana kalau aku dituduh sebagai mematai-matai kehidupan pribadi?Sejuta kekhawatiran menggelayuti pikiranku.Jangan –jangan yang kugali bukan bahan tulisan tapi bahan masalah.Hatiku “mendelong”**). Tapi tunggu, tetangga sebelah kiri kayaknya juga menarik.Tapi…apanya yang menarik?!Kenal saja tidak.Yang kutahu dia adalah seorang pria tua yang hidup sendirian.Sejak aku pindah ke rumah ini, belum sekalipun kami berkenalan dengannya.Dan dia juga tidak pernah menyapa kami.Tetangga depanku pernah bilang bahwa dia seorang yang aneh.Memang sering kulihat dia celingukan di halamannya sendiri, di semak-semak.Apakah dia mencari sesuatu yang hilang?Masak kehilangan barang setiap hari, di halaman rumah sendiri?Ya, aneh.Aku setuju.Aku keluar ke halamandepan, berharap bisa menyelidiki tetangga sebelah itu lebih jauh lagi. Nah, itu dia!Dia sedang menggali dengan sekop besar di halaman belakang rumahnya.Di sore hari begini?Mataharipun sudah hampir lenyap, tinggal langit yang memerah.Kalau mau menanam pohon, mengapa menjelang malam begini? Jangan-jangan…apakah diaakan mengubur sesuatu?Atau seseorang?Kutepis pikiran seramku.Belum lagi menjadi penulis tapi kayalanku sudah menggerayang kemana-mana.Aku menuju ke halaman samping, mungkin bisa terlihat lebih jelas. Ah, aku tidak mau terlihat olehnya sedang mematai-mataiapa yang dilalukannya.Aku pura-pura mencari sesuatu diantara tanaman bunga-bungaku.Pelan-pelan aku semakin mendekati ke arahnya sambil seolah sedang mencari sesuatu di antara tanaman-tanamanku itu. Hei…ternyata biji kemangi yang kutanam dua bulan yang lalu telah tumbuh besar!Hatiku bersorak.Sejak aku sibuk ingin mewujudkan impianku menjadi penulis, urusan kebun dan halaman menjadi terbengkalai.Tidak kuketahui lagi nasib tanaman-tanamanku.Bunga kertas dan roseku sebagian ada yang dimakan serangga dan kena penyakit. “Hello…!”. Aku tersentak. “Oh, eh…hi…”,aku tergagap. Tetanggaku itu ternyata sudah ada disebelahku! Oh, dia sebenarnya berwajah ramah.Tidak ada sedikitpun keanehan. “Is there something you’re looking for?” tanyanya sambil ikut celingukan di sela tanaman. “Oh, eh…anu, oh…I…I’m just looking for some….bugs!”Jawaban yang ngawur.Campur bahasaIndonesialagi.Tiba-tiba aku menyesal.Mengapa tidak dijawab sejujurnya?Mengakui bahwa aku sedang memata-matai dia? “Bugs!What kind of bug? Did they ruin your plant?”,tetanggaku itu semakin penasaran, “Or…. are you a bug collector?,” tanyanya lagi sambil memicingkan mata. Diberondong dengan pertanyaan membuatku semakin gugup. “Oh, yes…I…I have…some rare bugs,”.Ops!Aku mulai terjepit.Kali ini ngawurku sudah keterlaluan. Ah, toh dia tidak peduli. “Youdo ?! Whoa…What a surprise! We’re in the same hobby! A bug collector!”. Matilah aku! Dia pun mulai menerocos tentang serangga koleksinya.Aku hanya mengangguk-angguk pura-pura mengerti, meskipun sebenarnya hatiku bergidik.Siapa yang suka serangga?!Kemarin di rumahku ada seekor kecoa dan aku meloncat ke atas sofa.Dengan penuh semangat tetanggaku bercerita bahwa tadi malam dia berkemah di halaman belakang rumahnya, dan sebuah serangga yang unik menyelinap ke dalam tenda.Ketika hendak ditangkap ternyata serangga itu menelusup dengan gesitnya ke dalam tanah. “It was just gone!” katanya dengan kecewa. Oleh sebab itu sore ini dia bertekad menggali lubang tepat dimana serangga itu menelusup, dengan harapan bisa menemukannya. “I have been digging a big hole,” katanya sambil menunjuk ke arah lobang yang digalinya,” but there is no bug!” Oh, aku merasa bersalah telah berburuk sangka. Dia mendekat ke arahku. “I’m doing some researches about bugs….,” katanya sambil setengah berbisik.Aku heran mengapa dia mesti berbisik.Toh tidak ada orang di sekitar kami. “Mom!Adik eats toothpaste!” teriak anak sulungku dengan kencangnya dari pintu samping.Biasanya dia kubentak jika berteriak seperti itu.Kali ini teriakan itu terdengar seperti nyanyian dewa penyelamat. “My kids!Gotto go! Nice to meet you!” aku tergopoh-gopoh ingin segera lenyap dari hadapannya. “Nice to meet you, too.Come over sometime, you have to see my collections!”. “Yes…I will”, balasku, insya Allah, tambahku dalam hati.Maksudnya….mudah-mudahan tidak. ** Sehari lewat sejak pertemuanku dengan tetangga sebelah itu, dan aku masih buntu.Tulisan yang kuimpikan belum terwujud juga.Benar-benar buntu kelas berat.Sering kudengar dan kubaca para penulis mengatakan “menjadi penulis itu 10% bakat dan 90% latihan”.Ah, aku tidak percaya lagi.Jangan-jangan mereka hanya ingin menghibur orang-orang sepertiku supaya mau menulis biarpun tidak punya bakat.Akibatnya aku menjadi frustasi karena hasil tulisanku tidak seindah goresan para penulis.Ya…tiba-tiba aku menyadari. Kini aku tidak hanya buntu, tapi juga frustasi! Tiba-tiba suara sirene polisi meraung-raung di jalan depan rumahku. “Adaapaya ? ”, aku jadi penasaran. Aku berlari ke arah cendela.Tidak biasanya.Kompleks ini selalu sepi, dan raungan sirene itu mengejutkan seluruh kompleks.Jantungku ikut berdegup.Aku merasa tidak nyaman.Sebagai orang asing, polisi menjadi phobia tersendiri bagiku.Bahkan berpapasan dengan mobil polisi di jalan pun bisa membuatku grogi dan salah tingkah.Teringat ucapan seorang teman,“Kamu bisa dicegat polisi hanya karena nervous!”.Ya, benar juga.Grogi membuat mobilku oleng ke kanan dan kiri.Juga tanpa sadar menerobos lampu merah.Ternyata rumah pak tua tetangga sebelah itu telah penuh oleh polisi.Aku terheran-heran.Suamiku ikutan melongok di cendela. Kami pun berhamburan keluar, ingin melihatapa yang terjadi. “Homicide…!” bisik beberapa orang tetangga.Pembunuhan ?Degup jantungku semakin kacau.Pria tua itu mati terbunuh di rumahnya sendiri! Ah, padahal baru kemarin sore aku bertemu dan bercakap dengannya.Bagaimana mungkin? Tidak seoranpun tahuapa yang terjadi.Perampokan?Entahlah…polisi tidak memberi keterangan apapun, termasuk kepada wartawan.Kami pun bubar satu persatu dan masuk ke rumah masing-masing.Sepertinya polisi tidak suka orang-orang berkerumun di sekitar rumah itu.Mungkin mengganggu jalannya penyelidikan. Malam ini anak-anak baru tidur menjelang tengah malam.Mungkin mereka ikut tegang dengan peristiwa tadi sore.Aku juga lelah sekali, ingin segera berangkat tidur.Hampir tengah malam ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu depan.Suamiku melompat dari tempat tidur.Siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini?Kami mengintip dari lubang pintu. Beberapa orang polisi!Adaapa polisi ke rumahku?Tiba-tiba phobiaku mulai merayap ke seluruh sendi. Aku menarik nafas dalam-dalam, katanyacara itu bisa menepiskan kegundahan.Aku mencoba menghibur diri, ah, mungkin karena kami adalah tetangga si bapak tua itu.Mungkin polisi ingin mengumpulkan sejumlah informasi dari kami.Suamiku mempersilakan mereka masuk.Benar dugaanku. “Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan sehubungan dengan peristiwa pembunuhan Mr. Snead”.Oh, aku malah baru tahu namanya Mr. Snead.Polisi mengatakan bahwa mereka ingin meminta keterangan dariku karena akulah orang terakhir yang terlihat bercakap-cakap dengannya.Dengan hati-hati dan panjang lebar polisi itu menjelaskan bahwa namaku ada di buku agenda Mr. Snead, dan disebut sebagai “new buddy”.Detak jantungku mulai kacau.Ilmu tarikan nafas tidak mempan lagi.Dadaku sesak, seolah ada ribuan serangga menyumbat di tenggorokan. “My name?” tanyaku penasaran.Aku heran, bagaimana pria tua itu tahunamaku ? “No,Mam…he just put yours as ‘Mrs. Karnadi’”, salah seorang polisi menjelaskan seolah bisa membaca keherananku. “Isn’t that your last name, Sir?” polisi menoleh ke arah suamiku. “Yes, Sir”, jawab suamiku dengan gusar.Suamiku terlihat mulai tegang. “So, that’s easy. Your name is on your mailbox”, jelas polisi. Oh iya, ya.Pikiranku benar-benar tumpul. Menurut polisi mereka menemukan bukti kuat bahwa Mr. Snead sedang melakukan penelitian dengan beberapa temannya sesama kolektor serangga.Mereka hendak menciptakan serangga baru yang tahan terhadap segala jenis pestisida, bahkan beberapa diantaranya termasuk jenis serangga pembunuh.Penelitian Mr. Snead sudah separuh jalan dan sebagian hasilnya sudah dikirim kepada pembelinya, sebuah kelompok gerakan separatis dari sebuah negara di Amerika Selatan. “Or, they could be a terrorist!”,kata salah seorang polisi sambil menatapku. Tiba-tiba kepalaku pening luar biasa.Kurasakan seribu martil mengetok di kepala.Kini phobia itu semakin menusuk ke dalam urat syaraf, masuk ke dalam pembuluh darah.Dan menuju ke otak.Mataku mulai berkunang-kunang.Semua uraian polisi terdengar bagaikan rangkaian cerita yang indah, sekaligus mencekam.Seperti sebuah cerita yang sudah lama ingin kutulis.Tiba-tiba badanku menggigil.Tangan dan kakiku gemetar.Suara suamiku terdengar dikejauhan memanggil-manggil namaku.Sayup-sayup kudengar polisi mengucapkan kata “911”.Tiba-tiba segalanya menjadi sunyi.Yang kudengar hanyalah senyap.Dan kebuntuan.   *) puthul = patah, copot. **) mendelong = patah semangat dan kecewa   Juni 2004         Ketika Keheningan Menyentak Kesadaran     Senja bersemburat merah di ujung horizon.Pucuk-pucuk sinar jingga tertinggal malu-malu ,dari Sang Surya yang mulai meringkuk ke peraduannya.Petang mulai padat mengisi ruang.  Bias kegelapan menyelisip perlahan di antara garis-garis cahaya yang mulai memudar. Pantulan langit pada samuderaberpendar mempesona walau gelap mulai makin kelam. Camar-camar terbang pulang ke sarang, melintas berkilasan berbaur dalam bianglala penuh nuasa seribuwarna . Memandangi keindahan di ujung petang, di antara selisir angin laut dan kehangatan sisa-sisa mentari senja. Duduk sendiri di pinggir jendela kamar, berkawan dengan keheningan. Ning yang tenang.Nang yang hening.Kesunyian begitu kental menyesakkan sanubari.Wangi mawar-mawar di ujung taman, yang menyeruak masuk tanpa diundang, tak mampumenggelitik menggoyangkan renjana hati. Entah mengapa, di hari-hari terakhir ini ribuan getaran rindu tak pernah berhenti menghujam dada. Datangnya bagaibara , panas membakar menghanguskan ruang jiwa. Datangnya bagai sebungkah es, dingin menggigit membekukan sekelumit kesadaran hati yang tersisa. Terlalu lama sudah aku bermimpi.Menelusuri angan mengikuti jejak sejarah yang pernah kau lukiskan. Menjembatani khayalan merengkuhmu menari dalam iramacinta di antara gerimis pagi. Tapi langkahmu Kekasih, begitu jauh berputar terbawa angin segara.Makinmenghilang di sela-sela kabut yang mengitari lautan. Sudah kucoba menata lagi hamparan puing-puing hati yang tertinggal.Mencoba menghapus jejak-jejak langkahmuyang tersisa di pasir-pasir pantai rumah cinta kita. Menggapai asa merengkuh harapan di kepingan awan putih di atassana .Kadang tersedak menghirup sisa udara yang wanginya kau tinggalkan. Malam makin kelam.Kegelapan mulai menyentak-nyentak, perlahan menyelimuti peraduan Sang Surya yang terlelap.Dewi Malam bergandengan tangan dengan Rembulan, mulai berdiri berjingkat perlahan mengitari bumi.Lalu dengan lembut ditiupnya sisa-sisa lilin jingga dari senja yang kemerahan.Wangi mawar yang mulai menguncup masih tertinggal di ujung kamarku, namunpelan-pelan mulai tergantikan dengan keharuman sedap malam yang menguasai kegelapan. Terpesona memandangi sore yang Kau tinggalkan di sudut mimpi, tanpa sadar sepasang tangan kokoh sudah beberapa saat merengkuhku dalam pelukan.Kehangatan menjalar meneduhi hujan yang mengalir lewat mataku.Adasalamsayang menyeruak masuk lewat wajah kunang-kunang di tepi taman. Adakekuatan untuk tetap bersama dalam lingkaran tangan.Mengajak melafalkan kata-kata baru. Malam makin berdandan rapi.Daun-daun kering mulai menggugurkan diri.Alam pun mulai bersemadi. Kekasih...ada ikrar lain yang aku pasrahkan pada bahu-bahu kanan lainnya.Sisa-sisa keindahan yang ingin aku rengkuh. Melajukan perahuku bersama angin barat, mencari danau biru, awan biru, laut biru dan ikan-ikan yang menari ditimpa silau Mentari. Toh esok, langit akan kembali terangdan awan -awan kembali memutih bagai kapas, beriringan mencari kelahiran dan menghadapinya dengan senyuman teramat manis. Kekasih..bantuaku bermimpi lagi, berjingkat-jingkat di permukaan telaga bening mengalun bersama riak air. Untuk mbak Dhea Fernandez, teriringdoa dari jauh. Esok, mentaripasti selaluakan bersinar lagi.   Mei 2005.